Copyright © Arina for Life...
Design by Dzignine
Sabtu, 31 Oktober 2009

Taufik Ismail-punya

Yang Selalu Terapung di Atas Gelombang
(Taufik Ismail)

Seseorang dianggap tak bersalah, sampai dia dibuktikan hukum bersalah. Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah. Kini simaklah sebuah kisah. Seorang pegawai tinggi, gajinya sebulan satu setengah juta rupiah.
Di garasinya ada Volvo hitam, BMW abu-abu, Honda metalik, dan Mercedes merah. Anaknya sekolah di Leiden, Montpelier, dan Savannah. Rumahnya bertebaran di Menteng, Kebayoran, dan Macam-Macam Indah.
Setiap semester ganjil, istri terangnya belanja di Hongkong dan Singapura. Setiap semester genap, istri gelap liburan di Eropa dan Afrika.
Anak-anaknya pegang dua pabrik, tiga apotik, dan empat biro jasa. Saudara sepupu dan kemenakannya punya lima toko onderdil, enam biro iklan, dan tujuh pusat belanja.
Ketika rupiah anjlok terperosok, kepleset macet dan hancur jadi bubur, dia ketawa terbahak-bahak karena depositonya dalam dolar Amerika semua. Sesudah matahari dua kali tenggelam di langit barat, jumlah rupiahnya melesat sepuluh kali lipat.
Krisis makin menjadi-jadi, dimana-mana orang antri, maka seratus kantong plastik hitam dia bagi-bagi. Isinya masing-masing lima genggam beras, empat cangkir minyak goreng dan tiga bungkis mi cepat-jadi. Peristiwa murah hati ini diliput dua menit di kotak televisi dan masuk berita koran Jakarta halaman lima pagi-pagi sekali.
Gelombang mau datang, datanglah gelombang, setiap air bah pasang dia senantiasa di atas banjir bandang. Banyak orang tenggelam tak mampu timbul lagi, lalu dia berkata begini, “Yah, masing-masing kita rezekinya kan sendiri-sendiri.”
Seperti bandul jam tua yang bergoyang kau lihatlah, kekayaan misterius mau diperiksa, kekayaan tidak jadi di periksa, kekayaan mau diperiksa, kekayaan tidak diperiksa, kekayaan harus diperiksa, kekayaan tidak jadi diperiksa. Bandul jam tua wesminster, tahun empat puluh satu diproduksi, capek bergoyang begini, sampai dia berhenti sendiri.
Kemudian ide baru datang lagi, isi formulir harta benda sendiri, harus terus terang tapi dikirimkan pagi-pagi tertutup rapi, karena ini soal sangat pribadi.
Selepas itu suasana hening sepi lagi, cuma ada bunyi burung perkutut sekali-sekali.
Seseorang dianggap tak bersalah, sampai dia dibuktikan hukum bersalah. Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah. Bagaimana membuktikan bersalah, kalau kulit tak dapat dijamah. Menyentuh tak bisa dari jauh, memegang tak bisa dari dekat.
Karena ilmu kiat, orde datang dan orde berangkat, dia akan tetap saja selamat.
Kini lihat, di patio rumahnya, dengan arsitektur mediteranian, seraya menghirup teh nasgital dia duduk menerima telepon dari istrinya yang sedang tur di Venezia, sesudah menilai tiga proposal, dua diskusi panel, dan sebuah rencana rapat kerja.
Sementara itu disimaknya lirik lagu favorit My Way, senandung lama Frank Sinatra yang kemarin baru meninggal dunia, ditingkah lagu burung perkutut sepuluh juta dari sangkar tergantung diatas sana dan tak habis-habisnya di layar kaca jinggel bola Piala Dunia
Go, go, go, ale ale ale……

TAUFIK ISMAIL
1998

0 komentar:

Taufik Ismail-punya

Yang Selalu Terapung di Atas Gelombang
(Taufik Ismail)

Seseorang dianggap tak bersalah, sampai dia dibuktikan hukum bersalah. Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah. Kini simaklah sebuah kisah. Seorang pegawai tinggi, gajinya sebulan satu setengah juta rupiah.
Di garasinya ada Volvo hitam, BMW abu-abu, Honda metalik, dan Mercedes merah. Anaknya sekolah di Leiden, Montpelier, dan Savannah. Rumahnya bertebaran di Menteng, Kebayoran, dan Macam-Macam Indah.
Setiap semester ganjil, istri terangnya belanja di Hongkong dan Singapura. Setiap semester genap, istri gelap liburan di Eropa dan Afrika.
Anak-anaknya pegang dua pabrik, tiga apotik, dan empat biro jasa. Saudara sepupu dan kemenakannya punya lima toko onderdil, enam biro iklan, dan tujuh pusat belanja.
Ketika rupiah anjlok terperosok, kepleset macet dan hancur jadi bubur, dia ketawa terbahak-bahak karena depositonya dalam dolar Amerika semua. Sesudah matahari dua kali tenggelam di langit barat, jumlah rupiahnya melesat sepuluh kali lipat.
Krisis makin menjadi-jadi, dimana-mana orang antri, maka seratus kantong plastik hitam dia bagi-bagi. Isinya masing-masing lima genggam beras, empat cangkir minyak goreng dan tiga bungkis mi cepat-jadi. Peristiwa murah hati ini diliput dua menit di kotak televisi dan masuk berita koran Jakarta halaman lima pagi-pagi sekali.
Gelombang mau datang, datanglah gelombang, setiap air bah pasang dia senantiasa di atas banjir bandang. Banyak orang tenggelam tak mampu timbul lagi, lalu dia berkata begini, “Yah, masing-masing kita rezekinya kan sendiri-sendiri.”
Seperti bandul jam tua yang bergoyang kau lihatlah, kekayaan misterius mau diperiksa, kekayaan tidak jadi di periksa, kekayaan mau diperiksa, kekayaan tidak diperiksa, kekayaan harus diperiksa, kekayaan tidak jadi diperiksa. Bandul jam tua wesminster, tahun empat puluh satu diproduksi, capek bergoyang begini, sampai dia berhenti sendiri.
Kemudian ide baru datang lagi, isi formulir harta benda sendiri, harus terus terang tapi dikirimkan pagi-pagi tertutup rapi, karena ini soal sangat pribadi.
Selepas itu suasana hening sepi lagi, cuma ada bunyi burung perkutut sekali-sekali.
Seseorang dianggap tak bersalah, sampai dia dibuktikan hukum bersalah. Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah. Bagaimana membuktikan bersalah, kalau kulit tak dapat dijamah. Menyentuh tak bisa dari jauh, memegang tak bisa dari dekat.
Karena ilmu kiat, orde datang dan orde berangkat, dia akan tetap saja selamat.
Kini lihat, di patio rumahnya, dengan arsitektur mediteranian, seraya menghirup teh nasgital dia duduk menerima telepon dari istrinya yang sedang tur di Venezia, sesudah menilai tiga proposal, dua diskusi panel, dan sebuah rencana rapat kerja.
Sementara itu disimaknya lirik lagu favorit My Way, senandung lama Frank Sinatra yang kemarin baru meninggal dunia, ditingkah lagu burung perkutut sepuluh juta dari sangkar tergantung diatas sana dan tak habis-habisnya di layar kaca jinggel bola Piala Dunia
Go, go, go, ale ale ale……

TAUFIK ISMAIL
1998

Tidak ada komentar:

Sabtu, 31 Oktober 2009

Taufik Ismail-punya

Yang Selalu Terapung di Atas Gelombang
(Taufik Ismail)

Seseorang dianggap tak bersalah, sampai dia dibuktikan hukum bersalah. Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah. Kini simaklah sebuah kisah. Seorang pegawai tinggi, gajinya sebulan satu setengah juta rupiah.
Di garasinya ada Volvo hitam, BMW abu-abu, Honda metalik, dan Mercedes merah. Anaknya sekolah di Leiden, Montpelier, dan Savannah. Rumahnya bertebaran di Menteng, Kebayoran, dan Macam-Macam Indah.
Setiap semester ganjil, istri terangnya belanja di Hongkong dan Singapura. Setiap semester genap, istri gelap liburan di Eropa dan Afrika.
Anak-anaknya pegang dua pabrik, tiga apotik, dan empat biro jasa. Saudara sepupu dan kemenakannya punya lima toko onderdil, enam biro iklan, dan tujuh pusat belanja.
Ketika rupiah anjlok terperosok, kepleset macet dan hancur jadi bubur, dia ketawa terbahak-bahak karena depositonya dalam dolar Amerika semua. Sesudah matahari dua kali tenggelam di langit barat, jumlah rupiahnya melesat sepuluh kali lipat.
Krisis makin menjadi-jadi, dimana-mana orang antri, maka seratus kantong plastik hitam dia bagi-bagi. Isinya masing-masing lima genggam beras, empat cangkir minyak goreng dan tiga bungkis mi cepat-jadi. Peristiwa murah hati ini diliput dua menit di kotak televisi dan masuk berita koran Jakarta halaman lima pagi-pagi sekali.
Gelombang mau datang, datanglah gelombang, setiap air bah pasang dia senantiasa di atas banjir bandang. Banyak orang tenggelam tak mampu timbul lagi, lalu dia berkata begini, “Yah, masing-masing kita rezekinya kan sendiri-sendiri.”
Seperti bandul jam tua yang bergoyang kau lihatlah, kekayaan misterius mau diperiksa, kekayaan tidak jadi di periksa, kekayaan mau diperiksa, kekayaan tidak diperiksa, kekayaan harus diperiksa, kekayaan tidak jadi diperiksa. Bandul jam tua wesminster, tahun empat puluh satu diproduksi, capek bergoyang begini, sampai dia berhenti sendiri.
Kemudian ide baru datang lagi, isi formulir harta benda sendiri, harus terus terang tapi dikirimkan pagi-pagi tertutup rapi, karena ini soal sangat pribadi.
Selepas itu suasana hening sepi lagi, cuma ada bunyi burung perkutut sekali-sekali.
Seseorang dianggap tak bersalah, sampai dia dibuktikan hukum bersalah. Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah. Bagaimana membuktikan bersalah, kalau kulit tak dapat dijamah. Menyentuh tak bisa dari jauh, memegang tak bisa dari dekat.
Karena ilmu kiat, orde datang dan orde berangkat, dia akan tetap saja selamat.
Kini lihat, di patio rumahnya, dengan arsitektur mediteranian, seraya menghirup teh nasgital dia duduk menerima telepon dari istrinya yang sedang tur di Venezia, sesudah menilai tiga proposal, dua diskusi panel, dan sebuah rencana rapat kerja.
Sementara itu disimaknya lirik lagu favorit My Way, senandung lama Frank Sinatra yang kemarin baru meninggal dunia, ditingkah lagu burung perkutut sepuluh juta dari sangkar tergantung diatas sana dan tak habis-habisnya di layar kaca jinggel bola Piala Dunia
Go, go, go, ale ale ale……

TAUFIK ISMAIL
1998

Tidak ada komentar: