Saya tidak pernah lupa bagaimana mata perempuan itu menatap
saya... Saya tidak ingat seberapa cantik dia tapi saya selalu ingat bagaimana
mata itu memberikan sejuta harapan bagi saya, bagi mimpi-mimpi saya. Dia tak
pandai berkata-kata, hanya sekedar menjawab segala tanya saya. Perempuan yang meninggalkan bekas lipstik
di cangkir tehnya dan memberikan senyuman manisnya pelipur lara.
Dia yang selalu bilang, “hiduplah dengan sebaik-baiknya kamu
hidup menjadi yang terbaik bagi diri sendiri, orang lain dan lingkunganmu dan
matilah dengan sebaik-baiknya kamu menjadi hamba Allah.” Itu mungkin
kata-katanya yang tak pernah saya lupa.
Malam ini kita berbincang lagi, di antara temaram lampu taman
dan sinar bulan yang semakin benerang. Dengan baju hijau toska-nya, perempuan
ini menatap saya dalam, mata coklatnya menyiratkan keyakinan, sesuatu yang sangat
saya butuhkan sekarang.
“Semua akan baik-baik saja Rin...” ucapnya masih dengan
tatapan mata hangatnya. Saya selalu mempercayai ucapannya namun kali ini saya
ragu, dan masih terlalu ragu untuk menjawab. Lama kami terdiam, saling berbagi
wangi udara malam dan bersama mendengarkan suara serangga malam mengiringi
suara detak jantung kami.
“Menangislah !” Perempuan itu kembali bersuara, kini
jari-jari lentiknya menyentuh lembut jari-jariku yang mulai kedinginan. “Aku
suka suara tawamu, tapi tak mengapa jika malam ini aku mendengar suara
tangismu....”
Malam ini bahu itu basah, bahu itu, bahu yang hangat itu menguatkanku... Bahu seorang perempuan pemilik senyuman manis itu... Sesuatu yang ternyata lebih saya butuhkan....
3 komentar:
at: 4/12/2012 10:28:00 PM mengatakan...
interesting ! yang saya banyangkan hanya seorang bu arin, ketika membaca tulisan bu arin... jadi kangen "IBU SAYA"
at: 4/15/2012 08:08:00 PM mengatakan...
saya suka tulisan bu Arin :)
Bu aarin, jarang kelihatan bu' di kampus. Sibuk sekali yaa :p
at: 4/19/2012 11:05:00 PM mengatakan...
Makasih cantik...
Makasih sudah baca...^^
Posting Komentar